Bima Werkudara
Bima (Sanskerta: Bhima) atau Bimasena
(Sanskerta: Bhimaséna) adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita
Mahabharata. Ia dianggap sebagai seorang tokoh heroik. Ia adalah putra Dewi
Kunti dan dikenal sebagai tokoh Pandawa yang kuat, bersifat selalu kasar dan
menakutkan bagi musuh, walaupun sebenarnya hatinya lembut. Ia merupakan
keluarga Pandawa di urutan yang kedua, dari lima bersaudara. Saudara
se’ayah’-nya ialah wanara yang terkenal dalam epos Ramayana dan sering
dipanggil dengan nama Hanoman. Akhir dari riwayat Bima diceritakan bahwa dia
mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang
Bharatayuddha. Cerita ini dikisahkan dalam episode atau lakon Prasthanikaparwa.
Bima setia pada satu sikap, yaitu tidak suka berbasa basi dan tak pernah
bersikap mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri.
Arti nama
Kata bhima dalam bahasa Sanskerta
artinya kurang lebih adalah “mengerikan”. Sedangkan nama lain Bima yaitu
Wrekodara, dalam bahasa Sanskerta dieja v?(ri)kodara, artinya ialah “perut
serigala”, dan merujuk ke kegemarannya makan. Nama julukan yang lain adalah
Bhimasena yang berarti panglima perang.
Kelahiran
Dalam
wiracarita Mahabharata diceritakan bahwa karena Pandu tidak dapat membuat
keturunan (akibat kutukan dari seorang resi di hutan), maka Kunti (istri Pandu)
berseru kepada Bayu, dewa angin. Dari hubungan Kunti dengan Bayu, lahirlah
Bima. Atas anugerah dari Bayu, Bima akan menjadi orang yang paling kuat dan
penuh dengan kasih sayang.
Masa muda
Pada masa
kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kekuatan Bima tidak ada tandingannya di antara
anak-anak sebayanya. Kekuatan tersebut sering dipakai untuk menjahili para
sepupunya, yaitu Korawa. Salah satu Korawa yaitu Duryodana, menjadi sangat
benci dengan sikap Bima yang selalu jahil. Kebencian tersebut tumbuh subur
sehingga Duryodana berniat untuk membunuh Bima.
Pada suatu hari
ketika para Korawa serta Pandawa pergi bertamasya di daerah sungai Gangga, Duryodana
menyuguhkan makanan dan minuman kepada Bima, yang sebelumnya telah dicampur
dengan racun. Karena Bima tidak senang mencurigai seseorang, ia memakan makanan
yang diberikan oleh Duryodana. Tak lama kemudian, Bima pingsan. Lalu tubuhnya
diikat kuat-kuat oleh Duryodana dengan menggunakan tanaman menjalar, setelah
itu dihanyutkan ke sungai Gangga dengan rakit. Saat rakit yang membawa Bima
sampai di tengah sungai, ular-ular yang hidup di sekitar sungai tersebut
mematuk badan Bima. Ajaibnya, bisa ular tersebut berubah menjadi penangkal bagi
racun yang dimakan Bima. Ketika sadar, Bima langsung melepaskan ikatan tanaman
menjalar yang melilit tubuhnya, lalu ia membunuh ular-ular yang menggigit
badannya. Beberapa ular menyelamatkan diri untuk menemui rajanya, yaitu Naga
Basuki.
Saat Naga
Basuki mendengar kabar bahwa putera Pandu yang bernama Bima telah membunuh anak
buahnya, ia segera menyambut Bima dan memberinya minuman ilahi. Minuman
tersebut diminum beberapa mangkuk oleh Bima, sehingga tubuhnya menjadi sangat
kuat. Bima tinggal di istana Naga Basuki selama delapan hari, dan setelah itu
ia pulang. Saat Bima pulang, Duryodana kesal karena orang yang dibencinya masih
hidup. Ketika para Pandawa menyadari bahwa kebencian dalam hati Duryodana mulai
bertunas, mereka mulai berhati-hati.
Pendidikan
Pada usia
remaja, Bima dan saudara-saudaranya dididik dan dilatih dalam bidang militer
oleh Drona. Dalam mempelajari senjata, Bima lebih memusatkan perhatiannya untuk
menguasai ilmu menggunakan gada, seperti Duryodana. Mereka berdua menjadi murid
Baladewa, yaitu saudara Kresna yang sangat mahir dalam menggunakan senjata
gada. Dibandingkan dengan Bima, Baladewa lebih menyayangi Duryodana, dan
Duryodana juga setia kepada Baladewa.
Peristiwa di
Waranawata
Ketika para
Bima beserta ibu dan saudara-saudaranya berlibur di Waranawata, ia dan
Yudistira sadar bahwa rumah penginapan yang disediakan untuk mereka, telah
dirancang untuk membunuh mereka serta ibu mereka. Pesuruh Duryodana, yaitu
Purocana, telah membangun rumah tersebut sedemikian rupa dengan bahan seperti
lilin sehingga cepat terbakar. Bima hendak segera pergi, namun atas saran
Yudistira mereka tinggal di sana selama beberapa bulan.
Pada suatu
malam, Kunti mengadakan pesta dan seorang wanita yang dekat dengan Purocana
turut hadir di pesta itu bersama dengan kelima orang puteranya. Ketika Purocana
beserta wanita dan kelima anaknya tersebut tertidur lelap karena makanan yang
disuguhkan oleh Kunti, Bima segera menyuruh agar ibu dan saudara-saudaranya
melarikan diri dengan melewati terowongan yang telah dibuat sebelumnya.
Kemudian, Bima mulai membakar rumah lilin yang ditinggalkan mereka. Oleh karena
ibu dan saudara-saudaranya merasa mengantuk dan lelah, Bima membawa mereka
sekaligus dengan kekuatannya yang dahsyat. Kunti digendong di punggungnya,
Nakula dan Sadewa berada di pahanya, sedangkan Yudistira dan Arjuna berada di
lengannya.
Ketika keluar
dari ujung terowongan, Bima dan saudaranya tiba di sungai Gangga. Di sana
mereka diantar menyeberangi sungai oleh pesuruh Widura, yaitu menteri
Hastinapura yang mengkhwatirkan keadaan mereka. Setelah menyeberangi sungai
Gangga, mereka melewati Sidawata sampai Hidimbawana. Dalam perjalanan tersebut,
Bima memikul semua saudaranya dan ibunya melewati jarak kurang lebih tujuh
puluh dua mil.
di
Hidimbawana
Di Hidimbawana,
Bima bertemu dengan Hidimbi/arimbi yang jatuh cinta dengannya. Kakak Hidimbi
yang bernama Hidimba, menjadi marah karena Hidimbi telah jatuh cinta dengan
seseorang yang seharusnya menjadi santapan mereka. Kemudian Bima dan Hidimba
berkelahi. Dalam perkelahian tersebut, Bima memenangkan pertarungan dan
berhasil membunuh Hidimba dengan tangannya sendiri. Lalu, Bima menikah dengan
Hidimbi. Dari perkawinan mereka, lahirlah seorang putera yang diberi nama
Gatotkaca. Bima dan keluarganya tinggal selama beberapa bulan bersama dengan
Hidimbi dan Gatotkaca, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan.
Pembunuh
Raksasa Baka
Setelah
melewati Hidimbawana, Bima dan saudara-saudaranya beserta ibunya tiba disebuah
kota yang bernama Ekacakra. Di sana mereka menumpang di rumah keluarga
brahmana. Pada suatu hari ketika Bima dan ibunya sedang sendiri, sementara
keempat Pandawa lainnya pergi mengemis, brahmana pemilik rumah memberitahu
mereka bahwa seorang raksasa yang bernama Bakasura meneror kota Ekacakra. Atas
permohonan penduduk desa, raksasa tersebut berhenti mengganggu kota, namun
sebaliknya seluruh penduduk kota diharuskan untuk mempersembahkan makanan yang
enak serta seorang manusia setiap minggunya. Kini, keluarga brahmana yang menyediakan
tempat tinggal bagi mereka yang mendapat giliran untuk mempersembahkan salah
seorang keluarganya. Merasa berhutang budi dengan kebaikan hati keluarga
brahmana tersebut, Kunti berkata bahwa ia akan menyerahkan Bima yang nantinya
akan membunuh raksasa Baka. Mulanya Yudistira sangsi, namun akhirnya ia setuju.
Pada hari yang
telah ditentukan, Bima membawa segerobak makanan ke gua Bakasura. Di sana ia
menghabiskan makanan yang seharusnya dipersembahkan kepada sang raksasa.
Setelah itu, Bima memanggil-manggil raksasa tersebut untuk berduel dengannya.
Bakasura yang merasa dihina, marah lalu menerjang Bima. Seketika terjadilah
pertarungan sengit. Setelah pertempuran berlangsung lama, Bima meremukkan tubuh
Bakasura seperti memotong sebatang tebu. Lalu ia menyeret tubuh Bakasura sampai
di pintu gerbang Ekacakra. Atas pertolongan dari Bima, kota Ekacakra tenang
kembali. Ia tinggal di sana selama beberapa lama, sampai akhirnya Pandawa
memutuskan untuk pergi ke Kampilya, ibukota Kerajaan Panchala, karena mendengar
cerita mengenai Dropadi dari seorang brahmana.
Bima dalam
Bharatayuddha
Dalam perang di
Kurukshetra, Bima berperan sebagai komandan tentara Pandawa. Ia berperang
dengan menggunakan senjata gadanya yang sangat mengerikan.
Pada hari
terakhir Bharatayuddha, Bima berkelahi melawan Duryodana dengan menggunakan
senjata gada. Pertarungan berlangsung dengan sengit dan lama, sampai akhirnya
Kresna mengingatkan Bima bahwa ia telah bersumpah akan mematahkan paha
Duryodana. Seketika Bima mengayunkan gadanya ke arah paha Duryodana. Setelah
pahanya diremukkan, Duryodana jatuh ke tanah, dan beberapa lama kemudian ia
mati.
Bima dalam
pewayangan Jawa
Bima adalah
seorang tokoh yang populer dalam khazanah pewayangan Jawa. Suatu saat mantan
presiden Indonesia, Ir. Soekarno pernah menyatakan bahwa ia sangat senang dan
mengidentifikasikan dirinya mirip dengan karakter Bima.
Sifat
Bima memiliki
sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua
orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa
halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya. Bima melakukan
kedua hal ini (bicara dengan bahasa krama inggil dan duduk) hanya ketika
menjadi seorang resi dalam lakon Bima Suci, dan ketika dia bertemu dengan Dewa
Ruci. Ia memiliki keistimewaan dan ahli bermain gada, serta memiliki berbagai
macam senjata, antara lain: Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa
(kapak besar) dan Bargawasta. Sedangkan jenis ajian yang dimilikinya antara
lain: Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu, Aji Bayubraja dan Aji Blabak
Pangantol-antol.
Bima juga
memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu: Gelung Pudaksategal, Pupuk
Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda
dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya
antara lain: Kampuh atau Kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung
Nagasasra, Sumping Surengpati dan Pupuk Pudak Jarot Asem.
Istri dan
keturunan
Bima tinggal di
kadipaten Jodipati, wilayah Indraprastha. Ia mempunyai tiga orang isteri dan 3
orang anak, yaitu:
- Dewi Nagagini, berputera (mempunyai putera bernama) Arya Anantareja,
- Dewi Arimbi, berputera Raden Gatotkaca dan
- Dewi Urangayu, berputera Arya Anantasena.
Menurut versi
Banyumas, Bima mempunyai satu istri lagi, yaitu Dewi Rekatawati, berputera
Srenggini.
Comments
Post a Comment